Minggu, 01 Juni 2014

ETIKA PROFESI DAN HUKUM KESEHATAN TENTANG ADOPSI


TUGAS ETIKA PROFESI DAN HUKUM KESEHATAN
TENTANG ADOPSI

DOSEN PENGAMPU : HERLI GUSTIANI, SST, M.KES



NAMA : EKAWATI
NIM : 12.11.401.01.0352




AKADEMI KEBIDANAN MUHAMMADIYAH KOTIM
TAHUN AJARAN 2012/2013

A.   Latar Belakang Adopsi
Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan tetapi kadang-kadang naluri ini terbentur pada takdir illahi, dimana kehendak mempunyai anak tidak tercapai. Pada umumnya manusia tidak akan puas dengan apa yang dialaminya, sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kepuasan tersebut. Dalam hal pemilikan anak, usaha yang dilakukan adalah mengangkat anak atau adopsi.
Menurut Djaja S. Meliala, (1982: 4) dalam bukunya berjudul "pengangkatan anak di Indonesia" latar belakang dilakukan pengangkatan anak karena rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu memeliharanya atau alasan kemanusiaan. Tidak mempunyai anak dan keinginan anak untuk menjaga dan memelihara kelak dikemudian hari tua. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak dirumah maka akan mempunyai anak sendiri. Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada. Untuk menambah atau mendapatkan tenaga kerja. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan atau kebahagiaan keluarga.
Menurut Muderis Zaini, (1995: 15) dalam bukunya yang berjudul "Adopsi" Inti dari motif pengangkatan anak karena tidak mempunyai anak. Karena belas kasihan kepada anak tersebut disebabkan orang tua si anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya. Karena belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak mempunyai orang tua (yatim piatu). Untuk mempererat hubungan kekeluargaan. Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk dapat mempunyai anak kandung. Untuk menambah tenaga dalam keluarga. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan regenerasi bagi yang tidak mempunyai anak kandung.
Menurut Hilman Hadikusumo (1990: 79) pengangkatan anak dilakukan karena tidak mempunyai keturunan. Tidak ada penerus keturunan. Rasa kekeluargaan dan kebutuhan tenaga kerja.
M. Budiarto, (1991: 16) dalam bukunya yang berjudul "pengangkatan anak ditinjau dari segi hukum" bahwa faktor atau latar belakang dilakukan pengangkatan anak karena keinginan untuk mempunyai anak, bagi pasangan yang tidak mempunyai anak. Adanya harapan dan kepercayaan akan mendapatkan anak setelah mengangkat anak atau sebagai "pancingan". Masih ingin menambah anak yang lain jenis dari anak yang telah dipunyai. Sebagai belas kasihan terhadap anak terlantar, miskin, yatim piatu dan sebagainya.
Dari pendapat-pendapat yang telah diuraikan diatas terlihat bahwa pada dasarnya latar belakang seseorang melakukan pengangkatan anak adalah tidak mempunyai keturunan, untuk mempertahankan ikatan perkawinan atau kebahagiaan, adanya harapan dan kepercayaan akan mendapatkan anak setelah mengangkat anak atau pancingan. Dengan demikian jelaslah pengangkatan anak merupakan sesuatu yang bernilai positif.

B.    Pengertian Adopsi
          Pengertian secara Etimologi pengangkatan anak disebut juga dengan istilah lain yaitu adopsi. Adopsi berasal dari kata “adoptie” (bahasa Belanda)  yang artinya pengangkatan seorang anak untuk dijadikan sebagai anak sendiri. Sedangkan menurut bahasa Inggris yaitu “adoption” yang berarti pengangkatan anak atau mengangkat anak.
          Pengertian secara Terminologi. Pengertian pengangkatan anak dikemukakan oleh para ahli, antara lain sebagai berikut :
Arif Gosita, SH. dalam bukunya “masalah perlindungan anak”, bahwa : Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan (Aris Gosita, 1989:44).
B. Bastian Tafal, SH. di dalam bukunya “Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya di Kemudian Hari” bahwa pengangkatan anak adalah usaha untuk mengambil anak bukan keturunan dengan maksud untuk memelihara dan memperlakukannya sebagai anak sendiri (1983:45).
Amir Martosedono, SH. dalam bukunya “Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya”, bahwa : Anak Angkat adalah anak yang diambil oleh seseorang sebagai anaknya, dipelihara, diberi makan, diberi pakaian, kalau sakit
diberi obat, supaya tumbuh menjadi dewasa. Diperlakukan sebagai anaknya sendiri. Dan bila nanti orang tua angkatnya meninggal dunia, dia berhak atas warisan orang yang mengangkatnya (Amir Martosedono, 1990:15).
           Shanty Dellyana, SH. dalam buku “Wanita dan Anak di Mata Hukum” bahwa : Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan (Shanty Dellyana, 1988:21).
Djaja S. Meliala, SH. dalam buku “Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia”, bahwa: Adopsi atau pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang memberi kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti seorang anak yang sah (Djaja S. Meliala, 1982:3).
R. Soepomo dalam buku     “Bab-bab tentang Hukum Adat”  bahwa : Adopsi atau pengangkatan anak adalah mengangkat anak orang lain. Dengan adopsi atau pengangkatan anak ini timbul hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat seperti hubungan orang tua dengan anak kandung (Soepomo, 1985:76).
Adopsi menurut bahasa berasal dari bahasa inggris “adoption”, yang berarti pengangkatan anak atau pemungutan sehingga sering dikatakan “adoption of child” yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak.
Kata adopsi ini dimaksudkan oleh ahli bangsa arab dengan istilah attabanni yang dimaksudkan mengangkat anak. Sedangkan dalam kamus Munjid diartikan “ ittihadzahu ibnan” yaitu menjadikannya sebagai anak.
Sedangkan pengertian adopsi menurut istilah, dapat dikemukakan definisi para ahli antara lain :
1.     Menurut Hilman Kusuma, SH
Mengemukaka pendapatnya dengan mengatakan anak angkat adalah anak prang lain yang dianggapa anak sendiri pleh orang tua anggkat dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.


2.    Surojo Wingjodipura, SH
Mengatakan adopsi (mengangkat anak) adalah suatu perbuatan mengambil anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang memungut anak dananak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dan anak.
3.    Syekh Mahmud Syatut
Mengemukakan definisinya adopsi adalah seseorang yang mengangkat anak yang diketahuinya bahwa anak itu anak orang lain. Kemudian ia memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya, baik dari segi kasih sayangnya, maupun nafkahnya tanpa ia memadang perbedaan. Meskipun demikian agama tidak menganggap sebagai anak kandungnya, karena ia tidak dapat disamakan statusnya dengan anak kandung.

C.   Macam-Macam Adopsi
Adopsi (resmi) ada dua macam yaitu :
1)    Pengangkatan anak (anak angkat) yaitu pihak pengadopsi (orang tua) mengambil alih hak dan kewajiban sebagai orang tua pengganti terhadap anak angkatnya, sama seperti hak dan kewajiban terhadap anak kandung. Bukan saja wajib mengasuh, memelihara, memberi pendidikan, termasuk memberi kasih sayang dan bimbingan moral, tetapi juga wajib memberikan hak waris seperti terhadap anak kandung.
2)   Pengsuhan anak (anakasuh) yaitu pengadopsi hanya mengambil alih sebagian tanggung jawab sebagai orang tua terhadap sianak. Misalnya, memberi biaya pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lain sesuai kesepakatan, karena kedua orang tua sianak (atau salah satunya) tidak mampu menjamin tumbuh-kembang anak secara wajar. Pengadopsi tidak punya kewajiban memberi hak waris (kecuali atas inisiatif  sendiri).
Pengangkatan anak yang dilakukan di Indonesia sudah banyak, susunan masyarakatpun berbeda-beda. Untuk wilayah Republik Indonesia dikuasai oleh hukum adat yang berbeda-beda. Dalam upacara pengangkatan anak ada perbuatan yang dinamakan “Serah terima” yaitu penyerahan anak dari orang tua kandung terhadap calon orang tua angkat dan sebaliknya. Tetapi ada pula yang melaksanakan upacara pengangkatan anak tanpa adanya serah terima tersebut. Akibatnya dalam pratek mengalami masalah yaitu dalam hal menentukan apakah anak itu diangkat secara hukum. Berdasarkan hal tersebut diatas dengan melihat ciri-ciri lahiriah dan cara- cara pengangkatan anak di Indonesia, maka dapat dibagi 4 macam, yaitu pengangkatan anak yang umum, pengangkatan anak yang khusus, pengangkatan anak yang menyerupai dan pengangkatan anak secara pura- pura. (Woerjanto, 1987: 7)
a.    Pengangkatan anak secara tunai atau terang.
Pengertian tunai adalah suatu perbuatan pengangkatan anak yang dilaksanakan dengan perpindahan si anak dari orang tua kandung keorang tua angkat yang dilaksanakan secara serentak dan dibarengi dengan tindakan simbolis berupa penyerahan barang-barang tertentu yang mempunyai makna atau tujuan magis yang megakibatkan hubungan si anak dengan orang tua kandungnya menjadi putus setelah terjadinya upacara penyerahan anak angkat tersebut. Pengertian terang adalah bahwa suatu perbuatan pengangkatan anak yang dilakukan dihadapan dan diumumkan didepan orang banyak, dengan resmi secara formal, dianggap semua orang mengetahuinya.
b.    Pengangkatan anak secara tidak terang atau tidak tunai.
Pengertian tidak terang adalah pengangkatan anak itu dilakukan dengan tidak terikat pada suatu upacara tertentu, disamping itu mengenai kesaksian dan campur tangan dari pemuka-pemuka adat atau pejabat setempat dimana pengangkatan anak itu dilakukan. Dan pengertian tidak tunai adalah pengangkatan anak ini tidak merupakan keharusan untuk melakukan berbagai tindakan simbolis atau penyerahan barang- barang yang mempunyai maksud dan tujuan magis religius (Bushar Muhammad, 1991: 33).
c.    Pengangkatan anak yang khusus
Pengangkatan anak yang khusus disini karena mengandumg beberapa aspek atau syarat yang khusus dan khas untuk bentuk-bentuk tertentu ini. Pengangkatan anak yang secara khusus ini dapat terjadi dengan bermacam-macam hal, misalnya: Di Bali, Di daerah bali ada semacam pengangkatan anak yang diaambil dari istri yang kurang mulia, yang mana hal ini disebut dengan “nyentanayang”. Hal ini dilakukan karena istri selirnya tersebut adalah anak perempuan maka anak tersebut adalah anak laki-laki. Di Bali anak tersebut dinamakan “anak sentara” dan bila anak perempuan ini melangsungkan pernikahan, maka anak yang dikawinkan dengan cara “semada” atau disebut tanpa adanya jujur atau yang sejenis dengan mas kawin. Sehingga si suami ikut masuk ke lingkungan si istri. Suami yang dimaksudkan disini disebut dengan “sentana terikan”.

D.   Syarat-Syarat Adopsi
Syarat-syarat untuk mengadakan pengangkatan anak (adopsi) yaitu sebagai berikut
1)    Persetujuan orang yang melakukan pengangkatan anak.
2)   Jika anak lahir diluar nikah maka perlu adanya persetujuan dari orang tua yang mengakuinya, jika tidak ada pengakuan maka diperlakukan persetujuan dari wali dan balai harta penginggalan didalam hal anak belum dewasa.
3)   Persetujuan dari orang yang akan diangkat jika ia telah mencapai usia 15 tahun.
4)   Jika pengangkatan anak dilakukan oleh seorang janda maka perlu persetujuan dari saudara laki-laki dan ayah dari suami yang telah meninggal dunia, dan jika orang ini telah meninggal dunia atau tidak berada di Indonesia. Maka harus ada persetujuan dari dua anggota keluara laki-laki yang telah dewasa yang ditinggal di Indonesia dari pihak ayah dari suami yang telah meninggal dunia sampai dengan derajat keempat (STAABLAD 1917 Nomer 129 pasal.

E.    Undang-Undang atau Peraturan Adopsi
Dasar hukum pengangkatan Anak di Indonesia adalah sebagai berikut :
1)    Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 Tentang Pengangkatan Anak.
2)   Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
3)   Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979.
4)   Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 Tentang Pengangkatan Anak.
5)   Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Pelindungan Anak.
6)   Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Anak.
7)   Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
8)   Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan telah diubah dengan  Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
9)   Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
10) Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 110/HUK/2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.

F.    Kasus Nyata Adopsi
Pasangan suami istri Tri Susanto dan Suparti melaporkan kasus sengketa adopsi seorang anak di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) M Yunus ke Komisi IV DPRD Provinsi Bengkulu, Kamis (27/12). Pasangan suami istri itu sudah merawat seorang bayi yang diberi nama Agus Fitriansyah yang ditinggalkan orangtuanya dan ditemukan di belakang kediaman mereka di Kelurahan Sumur Dewa Kecamatan Selebar pada Agustus 2012. Tri Susanto dan Suparti yang kebetulan tidak memiliki anak, atas restu dari Ketua RT dan warga setempat, berniat mengadopsi dan menanggung seluruh biaya pengobatan serta berbagai kebutuhan Agus. Saat ditemukan, kondisi bayi itu kritis dengan kulit kebiruan karena kedinginan. Setelah merawat dan menanggung seluruh biaya perawatan selama beberapa bulan di RSUD M Yunus, pada 20 Desember 2012, Agus tidak lagi berada di RSUD M Yunus. "Kami sudah melengkapi seluruh syarat administrasi untuk mengadopsi Agus tapi saat kami kembali ke rumah sakit, Agus sudah tidak ada di tempat," kata Suparti menjelaskan kepada Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Bengkulu. Setelah mengetahui Agus tidak lagi di RSUD M Yunus, Suparti menemui Yani ke rumahnya dan mempertanyakan keberadaan Agus. "Malah saya yang disalahkan karena tidak segera membuat surat pernyataan dan permohonan," kata Suparti berlinang air mata. Dari penjelasan Yani, kata Suparti, sudah pernah menelepon dirinya tapi tidak diangkat. Namun, Suparti membantah adanya telepon ataupun pesan singkat dari pihak Yani tersebut. Suparti menyebutkan, surat permohonan adopsi yang ditujukan kepada Dirut RSUD M Yunus telah dibuatnya tertanggal 30 November 2012. Pasangan suami istri itu telah menganggap Agus sebagai anaknya. Bahkan pasangan suami istri itu telah mengadakan doa cukur rambut dan selamatan dan memberi nama Agus Fitriansyah pada 15 November 2012. Sementara itu, Ketua Koalisi Perempuan Indonesia Irna Riza Hidayati mengatakan, kasus pengalihan adopsi Agus merupakan bentuk pembodohan pihak RSUD M Yunus kepada masyarakat. "Syarat administrasi pengadopsian yang sebenarnya transparan dan prosedural tapi dibuat berbelit-belit dan inprosedural," katanya, saat mendampingi pasangan Tri Susanto dan Suparti menemui DPRD. Irna juga melihat ada tiga indikasi dalam permasalahan tersebut yakni indikasi pengalihan adopsi, kedua mark up biaya perawatan di RSUD M Yunus karena keluarga Suparti diminta uang sebesar Rp24 juta. Padahal menurut pengakuan Suparti, inkubator yang digunakan merawat Agus dalam kondisi rusak. Dan ketiga menurut Irna ada indikasi pengaburan informasi tentang syarat administrasi pengadopsian anak. Anggota Komisi IV, Syafrianto Daud mengatakan akan membantu keluarga Suparti dengan memanggil pihak RSUD M Yunus. "Kami akan membantu keluarga ini mendapatkan kejelasan dan keadilan karena dari pengakuan mereka ada yang tidak beres dalam proses ini," katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar